“Bayang-Bayang Anak Jahanam” adalah film horor Indonesia tahun 2025 yang menggabungkan kisah psikologis keluarga dengan unsur mistik dan balas dendam dari dunia arwah. Ceritanya dimulai dengan suasana tenang di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah, tempat seorang ibu muda bernama Sulastri tinggal bersama anak laki-lakinya, Rehan, yang baru berumur delapan tahun. Kehidupan mereka tampak biasa saja di mata warga sekitar, tapi di balik senyum lembut Sulastri tersimpan masa lalu kelam yang perlahan bangkit kembali ketika Rehan mulai menunjukkan perilaku aneh yang tidak bisa dijelaskan secara logis.
Awalnya, Rehan hanya terlihat seperti anak pemalu yang sering berbicara sendiri. Ia suka bermain di belakang rumah, di kebun bambu yang dikenal angker oleh warga desa. Sulastri mengira anaknya hanya memiliki imajinasi berlebih, tapi semuanya berubah ketika Rehan mulai memanggil nama seseorang yang tidak pernah dikenalnya sebelumnya—nama itu adalah “Randi.” Setiap malam, Sulastri mendengar suara langkah kaki anak kecil berlari di dalam rumah, padahal Rehan sudah tertidur. Lampu sering mati sendiri, pintu kamar terbuka perlahan, dan di dinding kamar anaknya muncul noda hitam berbentuk tangan kecil.
Suami Sulastri, Damar, seorang pekerja bangunan yang jarang pulang karena proyek di kota, awalnya menuduh istrinya terlalu percaya hal mistis. Namun, ketika ia sendiri mengalami kejadian aneh—melihat sosok anak kecil berdiri di ujung lorong rumah dengan mata hitam legam dan tubuh kotor berlumpur—Damar mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang jauh lebih jahat sedang menghantui keluarganya.
Mereka kemudian memanggil Pak Wiryo, Gempatoto seorang dukun sepuh yang dikenal mampu “melihat” dunia lain. Saat melakukan ritual pembersihan rumah, Pak Wiryo tiba-tiba berhenti dan berkata lirih bahwa arwah yang menempel pada Rehan bukan sembarangan roh gentayangan. Itu adalah “roh anak jahanam,” makhluk hasil pengorbanan manusia yang mati dengan dendam dan dikutuk untuk mencari tubuh baru agar bisa hidup kembali. Roh itu bukan hanya menghantui, tapi mencoba mengambil alih tubuh Rehan sedikit demi sedikit.
Sulastri pun dilanda dilema besar. Ia dihadapkan pada pilihan mengorbankan anaknya untuk menyelamatkan desa, atau melawan kutukan yang sudah mengakar selama puluhan tahun. Dalam pencarian jawaban, ia menemukan rahasia mengejutkan dari masa lalunya sendiri. Ternyata, ketika ia masih bayi, keluarganya terlibat dalam perjanjian hitam dengan seorang dukun bernama Mbah Suro, yang menjanjikan kekayaan dan keselamatan asal satu keturunan mereka kelak menjadi “wadah” bagi roh anak jahanam. Sulastri yang tak tahu menahu tentang perjanjian itu kini harus menanggung akibatnya.
Rehan semakin hari semakin berubah. Matanya sering kosong, suaranya menjadi berat seperti orang dewasa, dan ia mulai berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti siapa pun. Kadang-kadang ia tertawa sendiri di tengah malam, lalu tiba-tiba menjerit seperti sedang disiksa. Damar mencoba membawa anaknya ke rumah sakit, tapi setiap kali mereka hendak berangkat, mobil selalu mogok, jalanan berkabut, dan arah kompas seperti diputar balik. Seolah ada kekuatan yang sengaja menahan mereka untuk tidak pergi.
Sementara itu, warga desa mulai ketakutan karena kejadian aneh juga menimpa mereka. Anak-anak lain sering melihat sosok Rehan berjalan di ladang saat malam, padahal ibunya bersumpah anaknya sedang tidur di rumah. Beberapa hewan ternak mati dengan luka yang aneh di leher, dan suara tangisan anak kecil terdengar dari sumur tua di tengah desa. Pak Wiryo kembali melakukan ritual, tapi kali ini gagal. Ia mengatakan roh jahat itu sudah terlalu kuat karena kekuatan dendam dan kasih sayang seorang ibu yang tak rela kehilangan anaknya telah bersatu, menciptakan entitas baru yang tidak bisa dikendalikan.
Dalam desperasinya, Sulastri pergi ke rumah tua Mbah Suro, yang sudah lama terbakar tapi masih berdiri setengah runtuh. Di sana, ia menemukan kitab hitam yang menjelaskan cara memutuskan ikatan roh anak jahanam: hanya bisa dilakukan dengan mengorbankan “pengikat darah pertama”—yaitu dirinya sendiri. Dengan air mata, Sulastri menyadari bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan anaknya adalah dengan menyerahkan jiwanya sebagai ganti.
Malam itu, di bawah hujan deras dan kilat yang menyambar, Sulastri melakukan ritual terakhir di kebun bambu tempat Rehan dulu sering bermain. Ia membacakan mantra dari kitab hitam sambil meneteskan darah dari jarinya. Rehan, yang kini sepenuhnya dikuasai oleh roh jahat, datang menghampiri dengan wajah kosong dan mata merah menyala. Namun ketika tangan kecil itu menyentuh wajah ibunya, Sulastri tersenyum lembut dan berkata, “Maafkan Ibu… kalau dulu Ibu tidak tahu.” Tubuhnya kemudian terbakar oleh cahaya merah menyilaukan, disertai teriakan panjang yang menggema di seluruh desa.
Keesokan paginya, warga menemukan Rehan tertidur di kebun bambu, tubuhnya penuh tanah tapi wajahnya tenang. Namun Sulastri tidak pernah ditemukan. Di tempat ia terakhir berdiri, hanya tersisa kain putih terbakar dan kalung kecil yang biasa ia kenakan. Sejak hari itu, Rehan kembali seperti anak normal, tapi setiap kali matahari terbenam, ia menatap ke arah kebun bambu dan tersenyum tipis, seolah sedang berbicara dengan seseorang yang tak terlihat.
Beberapa tahun kemudian, rumah keluarga itu dibiarkan kosong. Warga desa menghindarinya karena sering terdengar suara perempuan menyanyikan lagu nina bobo di malam hari, disusul tawa kecil anak laki-laki. Legenda “Anak Jahanam” pun kembali hidup di antara mereka, menjadi peringatan agar tak sembarangan membuat perjanjian dengan kekuatan gelap. Film ini menutup ceritanya dengan adegan seorang keluarga baru yang pindah ke rumah itu, anak kecil mereka menatap kebun bambu dan berkata pelan, “Ibu, di sana ada teman baru…” sebelum layar gelap dan suara tawa kecil kembali terdengar.





