Home / Uncategorized / Di Balik Pintu(2025)

Di Balik Pintu(2025)

Rumah itu berdiri di ujung jalan yang sepi, gempatoto dikelilingi pagar besi hitam yang mulai berkarat. Tak ada yang berani mendekat terlalu lama, sebab tiap malam dari dalam rumah itu terdengar suara ketukan pelan—seperti seseorang sedang mencoba keluar dari balik pintu yang terkunci. Namun bagi Alya, rumah itu bukan sekadar cerita menyeramkan di antara warga sekitar. Rumah itu adalah peninggalan keluarganya, dan di sanalah semua rahasia masa lalunya disembunyikan.

Setelah bertahun-tahun tinggal di luar kota, Alya kembali ke kampung halamannya karena kematian mendadak ibunya. Ibunya meninggalkan surat pendek sebelum meninggal, hanya berisi satu kalimat: “Jangan buka pintu di lantai atas.”
Kata-kata itu aneh, tapi bagi Alya, yang selalu merasa ibunya menyimpan sesuatu, justru menjadi alasan untuk mencari tahu lebih jauh.

Hari pertama di rumah tua itu sudah membuat bulu kuduknya berdiri. Udara dingin seolah terjebak di dalam, dan setiap langkah kakinya di lantai kayu menimbulkan gema yang memantul seperti bisikan. Di ruang tamu, masih tergantung foto lama keluarganya—foto yang menampilkan ayahnya tersenyum kaku di belakang Alya kecil dan ibunya. Tapi anehnya, di pojok foto itu tampak samar sosok lain yang wajahnya tidak jelas. Alya tak pernah ingat ada orang keempat di rumah itu.

Malamnya, suara ketukan itu datang. Tok… tok… tok.
Pelan tapi teratur, berasal dari lantai atas. Alya terbangun, menatap langit-langit kamar sambil menahan napas. Suara itu berhenti sesaat, lalu terdengar lagi, kali ini disertai suara napas berat. Ia menggenggam senter dan naik perlahan ke lantai atas. Di ujung lorong yang gelap, berdirilah sebuah pintu kayu tua—pintu yang ibunya larang untuk dibuka.

Setiap serat di tubuh Alya mengatakan untuk mundur, tapi rasa ingin tahunya lebih kuat. Ia meraih gagang pintu, berkarat dan dingin, dan saat disentuh, pintu itu bergetar pelan, seperti ada sesuatu di baliknya yang bereaksi pada sentuhan itu. Alya mundur. Ia tidak berani membuka malam itu. Namun keesokan paginya, ia bertekad mencari tahu.

Di ruang kerja ibunya, ia menemukan buku harian lama yang tersembunyi di balik rak buku. Isinya mencatat sesuatu yang mengejutkan:
“Alya semakin mirip dia… aku takut dia akan ingat.”
“Suara itu kembali setiap malam. Dia memanggil nama Alya.”
“Aku tak bisa menahannya lama-lama. Pintu itu tidak boleh dibuka, atau semuanya akan terulang.”

Kalimat-kalimat itu membuat Alya gemetar. Siapa “dia” yang disebut ibunya? Apa yang terjadi di rumah itu dulu?

Sore harinya, Alya menemui tetangga lama, Pak Darman, satu-satunya orang yang masih tinggal di sekitar rumah itu sejak dulu. Ketika Alya menanyakan tentang ayahnya, wajah Pak Darman langsung berubah tegang. Ia hanya berkata lirih, “Ayahmu bukan orang jahat… tapi ada sesuatu di rumah itu yang membuatnya berubah.”

Malam berikutnya, Alya bermimpi aneh. Ia melihat dirinya kecil berlari di lorong rumah, menangis, sementara dari balik pintu di lantai atas terdengar suara seorang laki-laki memanggil, “Alya, buka pintu untuk Ayah.” Tapi dalam mimpinya, ibunya berteriak keras, “Jangan buka! Itu bukan ayahmu!”
Ketika terbangun, ia mendapati pintu kamar terbuka lebar, dan dari atas terdengar suara langkah kaki yang pelan… seolah seseorang berjalan bolak-balik di atasnya.

Alya tahu, satu-satunya cara menghentikan semua ini adalah menghadapi apa pun yang ada di balik pintu itu. Ia menyalakan lilin dan berjalan ke atas. Pintu itu kini tampak berbeda—ada bekas goresan panjang di permukaannya, seperti kuku manusia. Ia menarik napas dalam, menggenggam gagang pintu, lalu membukanya perlahan.

Udara dingin menyergap, dan lilinnya hampir padam. Di dalam ruangan itu hanya ada satu kursi kayu, meja kecil, dan cermin besar yang pecah di beberapa bagian. Tapi di tengah ruangan, duduk sosok laki-laki berpakaian lusuh, wajahnya pucat seperti tanpa darah.
“Sudah lama, Alya,” katanya dengan suara serak. “Akhirnya kau kembali.”

Alya mundur. “Siapa kau?”
“Ayahmu,” jawabnya pelan, “setidaknya dulu aku begitu, sebelum ibumu mengurungku di sini.”

Sosok itu menjelaskan bahwa bertahun-tahun lalu, ia terobsesi dengan ritual pemanggilan arwah. Ia ingin berbicara dengan saudara kembarnya yang meninggal muda. Namun ritual itu justru membuka pintu ke dunia lain—pintu yang tak seharusnya disentuh manusia. Sejak saat itu, arwah lain mengambil alih tubuhnya, membuatnya melakukan hal-hal mengerikan hingga ibunya memutuskan mengurungnya di balik pintu itu.

Alya tak tahu harus percaya atau tidak. Tapi tiba-tiba ruangan bergetar, dan dari bayangan di dinding muncul sosok hitam tinggi, dengan mata merah menyala. “Kau tak bisa menahanku lagi,” suara itu bergema. Laki-laki di kursi itu menatap Alya dengan mata penuh air mata. “Lari, Nak! Tutup pintunya!”

Alya berteriak, membanting pintu sekuat tenaga. Dari baliknya terdengar jeritan panjang dan bunyi kaca pecah. Pintu itu bergetar hebat, lalu perlahan tenang.

Beberapa hari kemudian, rumah itu dijual ke pemerintah untuk dihancurkan. Alya berdiri jauh dari lokasi, menatap saat dinding demi dinding runtuh. Namun sebelum pergi, ia mendengar suara familiar di telinganya, sangat dekat, berbisik:
“Kau sudah membukanya, Alya… pintu itu tak akan pernah tertutup lagi.”

Alya menatap kosong ke arah rumah yang kini tinggal puing. Di tangannya, tergenggam potongan kecil gagang pintu tua yang entah bagaimana muncul di sakunya. Ia menjatuhkannya ke tanah, tapi potongan itu bergetar pelan—dan dari dalamnya terdengar suara ketukan kecil.
Tok… tok… tok…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *