Najwa Medusatoto adalah seorang guru dari kota kecil yang hidup sebagai ibu tunggal bersama putrinya, Yanti. Penuh harapan untuk memberi kehidupan yang lebih baik bagi anaknya, Najwa menerima tawaran menjadi guru di sebuah sekolah elit di Jakarta yang dikelola oleh yayasan terkemuka milik keluarga Bhairawa. Tawaran ini baginya ibarat kesempatan emas: karier yang lebih stabil, lingkungan kerja yang prestisius, serta harapan kehidupan yang lebih layak.
Setibanya di Jakarta, Najwa dan Yanti dipindahkan ke sebuah rumah yang disediakan oleh yayasan. Lingkungan sekolah, fasilitas, dan keramahan dari keluarga Bhairawa tampak sangat ideal dan mewah—hal-hal yang selama ini hanya bisa ia impikan. Najwa merasa bahwa keputusan untuk pindah dan meninggalkan kota asal kecilnya adalah keputusan yang tepat. Ia merasa dihargai dan diterima, bukan hanya sebagai guru, tetapi sebagai bagian dari komunitas sekolah itu.
Seiring waktu, hubungan Najwa dengan pihak yayasan dan keluarga Bhairawa—termasuk anak-anak dan tamu sosial mereka—semakin intens. Najwa dan Yanti beberapa kali diundang ke rumah Bhairawa untuk makan malam, dalam suasana yang tampak hangat namun ada yang agak ganjil. Ada perhatian berlebihan dari pihak keluarga yayasan terhadap Najwa dan terutama Yanti. Sekilas, semuanya tampak seperti keramahan biasa, tapi ada momen-momen kecil yang membuat Najwa merasa tidak nyaman—tatapan yang terlalu lama, bisikan yang samar, dan suasana yang aneh di rumah barunya.
Ketidaknyamanan itu semakin nyata ketika Najwa mulai melihat penampakan, kemunculan roh atau arwah yang bergerak tanpa jelas. Doa-doa atau ritual kecil disebut-sebut oleh beberapa orang di sekitar yayasan sebagai tradisi lama. Rumah tempat mereka tinggal ternyata menyimpan sejarah kelam: korban-korban dari masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Arwah para korban ini seolah “mengisi” ruang-ruang sunyi di rumah itu, memberi pertanda bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh keluarga Bhairawa.
Penyelidikan kecil-kecilan yang Najwa lakukan, mulai dari memeriksa dokumen yayasan, perbincangan dengan staf lama, hingga mencari tahu legenda lokal, mengungkap bahwa yayasan Bhairawa menjalankan praktik kanibalisme kuno. Praktik itu tampak telah menjadi rahasia turun-temurun, bagian dari upaya mempertahankan status, kekuasaan, dan kekayaan. Ritual-ritual yang tampaknya mistis bukan hanya simbol, tetapi praktik nyata yang dilakukan secara diam-diam, dilatarbelakangi oleh ambisi dan keinginan untuk mempertahankan warisan keluarga.
Ketegangan semakin meningkat ketika Najwa menyadari bahwa Yanti, putrinya, telah dijadikan target dalam ritual tersebut. Ada pengaturan dan rencana yang mengarah pada pengorbanan, dan Yanti berada pada posisi yang semakin rentan. Najwa berada dalam dilema: di satu sisi, dia ingin melindungi anaknya dengan segala cara, namun di sisi lain, ia menyadari bahwa kekuatan lawan bukan hanya fisik, melainkan juga psikologis dan sosial—keluarga Bhairawa memiliki pengaruh, kekayaan, dan jaringan. Banyak orang di sekitarnya yang tampak loyal atau takut untuk melawan, bahkan diam karena takut akan konsekuensi.
Konflik batin Najwa semakin dalam ketika ia mempertimbangkan bagaimana mengambil langkah: apakah ia harus mengungkap rahasia tersebut kepada publik? Apakah ia harus kabur bersama Yanti? Atau mencoba menetap dan melawan dari dalam? Rasa takut, rasa bersalah, cinta seorang ibu, dan keyakinan bahwa Yanti harus tetap hidup berpadu menjadi motivasi yang kuat baginya.
Dalam suasana yang mencekam, rumah yang awalnya terlihat indah dan megah berubah menjadi “labirin” penuh keheningan yang mengancam, suara-suara aneh, bayangan, dan bisikan dari arwah terus menghantui. Setiap sudut rumah, tiap pintu, tiap koridor bisa saja menyimpan rahasia kelam. Najwa merasa tidak bisa percaya sepenuhnya kepada siapa pun—staf sekolah, tetangga yayasan, bahkan beberapa orang yang dekat dengan keluarga Bhairawa mungkin memiliki peran dalam menjaga kebisuan atas praktik tersebut.
Waktu menjadi kawan sekaligus musuh. Ritual mendekat, dan persiapan telah dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Najwa harus berpikir cepat dan strategis: menyusun rencana agar tidak menimbulkan kecurigaan, melindungi Yanti dari ancaman samar tapi nyata, serta menjaga agar dirinya tidak terkepung oleh rasa takut yang bisa melemahkan. Ia menggunakan keberanian yang selama ini tersembunyi, naluri seorang ibu, dan kecerdikan dalam menghadapi intrik kekuasaan yang tak hanya mengandalkan kekerasan fisik tetapi juga manipulasi psikologis.
Film ini tidak hanya sekadar menghadirkan teror supernatural atau adegan menegangkan, tetapi juga menelusuri aspek psikologis karakter Najwa: bagaimana tekanan sosial, ketidakadilan, kesetiaan yang dipaksakan, dan rasa takut terhadap yang tak terlihat mempengaruhi tindakan manusia. Ada keharusan bagi Najwa untuk mempertimbangkan risiko kehilangan, dan sejauh mana seorang ibu rela berkorban untuk anaknya.
Pada klimaksnya, film membawa ketegangan ke titik puncak: konfrontasi antara Najwa dengan pihak yayasan dan keluarga Bhairawa—yang telah lama menjaga rahasia. Rumah menjadi medan perang psikologis dan fisik. Najwa dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit: melindungi Yanti dengan melarikan diri atau melawan secara langsung, menghadapi kengerian ritual, dan menyusun langkah agar putrinya selamat. Konflik ini memunculkan adegan-adegan yang menggambarkan bahwa untuk melindungi yang dicintai, terkadang seseorang harus menantang ketidakadilan bahkan jika itu berarti merusak citra dan menghadapi bahaya besar.





