Malam itu medusatoto hujan turun deras di Jakarta. Di antara gemuruh petir dan aroma tanah basah, seorang mahasiswi bernama Rani menenteng koper kecil dan payung yang hampir patah diterpa angin. Ia baru pindah dari kampung untuk kuliah di Jakarta dan sedang mencari tempat kost yang murah. Di tengah jalan yang sepi, ia melihat papan tua bertuliskan “KOST PUTRI MELATI – Kamar Bersih, Murah, Aman.” Tanpa pikir panjang, Rani mengetuk pintu.
Seorang ibu berwajah pucat membukakan pintu. “Masuk saja, Nak. Masih ada kamar kosong di atas,” katanya dengan senyum tipis. Namanya Bu Melati, pemilik kost itu. Lorong menuju kamarnya panjang, sempit, dan redup. Bau lembap bercampur wangi kamper menusuk hidung. Di ujung lorong, ada sebuah cermin besar tua yang dipenuhi noda hitam di tepinya. “Jangan menatap cermin itu terlalu lama, ya,” pesan Bu Melati sambil tersenyum samar.
Malam pertama Rani di kost itu terasa aneh. Dari kamarnya, ia mendengar suara langkah kaki menyeret-nyeret di lorong, padahal semua penghuni sudah tidur. Lampu lorong kadang berkedip sendiri. Dan setiap lewat di depan cermin itu, Rani merasa seperti bayangannya bergerak sedikit lebih lambat dari dirinya. Tapi ia berusaha tak peduli. Ia pikir, mungkin hanya lelah karena perjalanan jauh.
Keesokan harinya, Rani berkenalan dengan dua penghuni lain: Nisa, gadis ceria yang suka bercerita, dan Tari, mahasiswi pendiam yang selalu menatap kosong. Saat mereka makan bersama di dapur, Nisa sempat berbisik, “Kalau tengah malam dengar suara perempuan nyanyi, jangan keluar kamar. Itu bukan orang.” Rani tertawa kecil, mengira itu cuma candaan. Tapi malam berikutnya, sekitar pukul dua, suara nyanyian itu benar-benar terdengar — lirih, seperti berasal dari ujung lorong: “Bunga melati… harumnya malam…”
Jantung Rani berdebar kencang. Ia menutup telinga dengan bantal, tapi rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Ia membuka pintu pelan, melihat lorong gelap yang hanya diterangi cahaya remang dari cermin di ujungnya. Dari pantulan cermin, ia melihat sosok wanita berambut panjang berdiri diam menatapnya. Tapi ketika ia menoleh langsung ke arah itu, tak ada siapa-siapa. Saat kembali melihat ke cermin — sosok itu sudah berada tepat di belakangnya.
Rani menjerit dan pingsan. Keesokan paginya, ia terbangun di ranjang dengan Bu Melati duduk di sampingnya. “Kamu cuma mimpi,” kata Bu Melati lembut. Tapi Rani tahu itu nyata. Sejak malam itu, kost itu tak pernah sama lagi. Setiap malam ia mendengar langkah, bisikan, dan ketukan di dinding kamarnya. Nisa mencoba menenangkannya, tapi wajah Nisa pun mulai pucat. “Tari sudah tiga hari nggak keluar kamar,” bisik Nisa suatu pagi. Mereka berdua mencoba mengetuk pintu Tari — tidak ada jawaban. Saat mereka memaksa membuka pintu, kamar itu kosong, hanya ada rambut panjang berserakan di lantai dan cermin kecil tergantung di dinding.
Rani mulai mencari tahu sejarah kost itu. Dari tetangga sekitar, ia mendengar bahwa dulu di tempat itu pernah terjadi pembunuhan. Seorang ibu kos bernama Melati membunuh para penghuni satu per satu karena merasa mereka “mengotori rumahnya.” Setelah itu, Bu Melati gantung diri di depan cermin besar di lorong. Sejak itu, rumah itu kosong bertahun-tahun — sampai akhirnya ada yang membuka lagi dengan nama yang sama: Bu Melati.
Rani langsung merinding. Ia mencoba pergi dari kost itu malam itu juga, tapi setiap kali ia menuruni tangga, lorongnya seperti berubah. Tiba-tiba pintu keluar tak lagi ada, dan lorong terasa memanjang tanpa ujung. Lampu-lampu padam satu per satu. Di ujung gelap, suara nyanyian itu kembali terdengar, kali ini lebih dekat. Rani berlari panik, tapi tiba-tiba langkahnya berhenti ketika melihat sesuatu di cermin — bayangannya tersenyum sendiri, padahal ia sedang menangis ketakutan.
Bayangan itu melangkah maju dari dalam cermin. Tangannya pucat, matanya hitam pekat, dan bibirnya berbisik, “Kamu sekarang bagian dari kami.” Rani menjerit, lalu semuanya gelap.
Keesokan paginya, kost itu tampak tenang seperti biasa. Bu Melati menata rambutnya di depan cermin sambil tersenyum. Di buku tamu yang ada di meja depan, nama baru ditulis dengan tinta merah: Rani Putri – Kamar 7. Sore itu, seorang mahasiswi lain datang mencari kamar kosong. Bu Melati menyambut dengan senyum ramah. “Masih ada kamar di atas. Lewat lorong itu, ya.”
Di tempat yang tampak biasa itu, suara langkah kaki pelan terdengar lagi. Di setiap pantulan cermin yang redup, wajah-wajah lama tampak tersenyum samar. Setiap orang yang datang ke sana, mungkin tak pernah benar-benar pergi. Karena di lorong kost itu, waktu berhenti, dan bayanganmu bukan sekadar pantulan — tapi undangan.




