Home / Uncategorized / Selepas Tahlil (2025)

Selepas Tahlil (2025)

Rumah Medusatoto itu berdiri tenang di tengah desa Jawa yang masih kental dengan aroma tanah basah, dupa, dan doa. Tujuh hari sudah sejak kepergian Pak Harto, kepala keluarga yang disegani sekaligus ditakuti oleh banyak orang di kampungnya. Seusai malam tahlilan terakhir, keluarga besar mulai berkemas untuk pulang, meninggalkan rumah yang tiba-tiba terasa terlalu luas, terlalu sunyi. Hanya Raka, anak sulungnya, dan Sari, sang adik, yang memilih tinggal beberapa hari lagi untuk membereskan peninggalan ayah mereka.

Awalnya tak ada yang janggal. Tapi begitu malam pertama tiba, sesuatu di rumah itu mulai berubah. Lampu gantung di ruang tamu bergoyang sendiri, seolah ada angin padahal semua jendela tertutup rapat. Kain penutup foto keluarga di dinding tiba-tiba melorot, memperlihatkan senyum Pak Harto yang terasa berbeda dari biasanya—tatapannya seolah mengikuti siapa pun yang lewat di bawahnya.

Sari mulai bermimpi aneh. Dalam mimpinya, ayah mereka duduk di beranda sambil merokok, menatap sawah, lalu menoleh dan berkata pelan, “Belum selesai, Nduk.” Ketika terbangun, aroma tembakau yang sama masih menggantung di kamar. Raka menolak percaya; ia menganggap itu sekadar halusinasi karena kelelahan. Namun, ketika dia sendiri mendengar suara kursi kayu bergeser di dapur pada tengah malam dan menemukan sisa abu rokok di lantai, keyakinannya mulai goyah.

Hari-hari berikutnya menjadi semakin berat. Para tetangga yang datang sekadar mengantarkan makanan arisan atau melayat ulang sering menatap rumah itu dengan ragu. Ada yang bilang, roh orang meninggal tidak akan tenang kalau masih punya urusan di dunia. Ada pula yang berbisik, dulu Pak Harto pernah memutuskan hubungan dengan saudara jauh gara-gara tanah warisan. Raka dan Sari tidak tahu mana yang benar; yang jelas, setiap malam, suara ayah mereka seperti masih terdengar di ruang tengah—menyebut nama anak-anaknya satu per satu.

Sari kemudian menemukan sebuah kotak kayu tua di lemari ayahnya. Di dalamnya ada surat, tasbih, dan foto seorang perempuan muda yang tidak mereka kenal. Di balik foto itu tertulis tahun 1989, jauh sebelum Raka dan Sari lahir. Sejak saat itu, gangguan makin sering terjadi. Saat tahlil tambahan dilakukan oleh seorang ustaz setempat, lilin tiba-tiba padam semua, dan salah satu tamu melihat bayangan hitam tinggi berdiri di belakang kursi kosong yang seharusnya milik Pak Harto.

Film ini tidak menakutkan dengan cara biasa—tidak ada setan yang tiba-tiba muncul di cermin atau darah berceceran di lantai. Ketakutannya datang dari suasana: gema doa yang seperti terpantul, detik jam yang terlalu keras, dan bayangan tubuh yang tak seharusnya ada. Penonton dibuat merasa seperti ikut menginap di rumah duka itu, menunggu sesuatu yang tidak pernah benar-benar muncul tapi terasa terus mengintai.

Raka, yang awalnya berusaha rasional, akhirnya mulai mencari tahu tentang masa lalu ayahnya. Ia mendatangi seorang kiai tua yang dulu dekat dengan keluarga mereka. Dari sana terungkap bahwa Pak Harto pernah terlibat dalam perjanjian spiritual—sebuah janji antara manusia dan makhluk gaib demi menjaga keselamatan keluarganya. Janji itu seharusnya ditebus setelah kematiannya, tapi karena ada sesuatu yang tidak dilakukan, roh ayahnya kini terjebak antara dunia dan akhirat.

Sementara itu, Sari menjadi semakin sensitif terhadap kehadiran gaib. Ia sering pingsan setiap kali azan magrib berkumandang, seolah ada energi besar yang berusaha keluar dari tubuhnya. Raka takut kehilangan adiknya, tapi juga sadar bahwa mungkin satu-satunya cara menenangkan arwah ayah mereka adalah dengan mengulang ritual tahlil terakhir, kali ini dengan niat yang berbeda—bukan sekadar mendoakan, tapi melepaskan.

Di titik ini film mulai menekan emosi penonton. Setiap adegan terasa dingin, sunyi, dan penuh makna. Dialog antar-karakter pendek tapi berat, seperti beban yang tidak sanggup mereka ucapkan. Tema utama film ini bukan sekadar kematian, melainkan penyesalan—bagaimana orang yang hidup sering lupa bahwa yang mati pun masih menyimpan luka.

Penyutradaraan Angga Dwimas Sasongko memperlihatkan keindahan visual yang kontras: cahaya lilin yang menari di wajah pucat Sari, kabut pagi yang menyelimuti pekarangan rumah, dan suara jangkrik yang pelan-pelan berubah jadi dengungan menyeramkan. Musiknya tidak menonjol, tapi setiap gesekan gamelan membuat bulu kuduk merinding.

Menjelang akhir, Raka dan Sari harus memilih antara mengikuti ritual yang diajarkan kiai—yang bisa mengakhiri semua teror namun dengan risiko kehilangan seseorang selamanya—atau menolak takdir dan tetap bersama “sosok” ayah yang mereka rindukan tapi bukan lagi manusia.

Film ini menutup ceritanya dengan cara yang menyentuh sekaligus menyeramkan. Tidak ada jawaban yang pasti, hanya keheningan setelah doa terakhir dibacakan. Penonton akan keluar dari bioskop dengan pertanyaan: apakah doa benar-benar mampu menenangkan semua arwah, atau hanya membuat kita merasa lebih tenang karena sudah berusaha?

Selepas Tahlil bukan sekadar film hantu; ini kisah tentang keluarga, duka, dan batas tipis antara cinta dan kehilangan. Ketakutannya terasa nyata karena sangat dekat dengan budaya dan keseharian masyarakat Indonesia. Setiap orang yang pernah kehilangan anggota keluarga akan bisa merasakan getirnya, dan setiap kali dupa menyala di rumah, mungkin akan teringat satu hal: ada doa-doa yang tidak semestinya diucapkan terlalu keras.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *