Film medusatoto dimulai dengan keluarga kecil yang baru pindah dari Jakarta ke sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Arga (Fedi Nuril) baru saja kehilangan pekerjaan sebagai arsitek setelah kantornya bangkrut. Ia memutuskan membeli rumah tua peninggalan seorang perempuan yang meninggal tanpa ahli waris dengan harga murah. Istrinya, Nadya (Luna Maya), berharap suasana baru bisa membuat keluarga mereka kembali hangat. Putri mereka, Sukma, adalah anak tunggal berusia delapan tahun yang pendiam tapi cerdas dan senang menggambar.
Begitu sampai di rumah baru, suasananya langsung terasa aneh. Rumah itu besar tapi suram, dipenuhi perabotan lawas. Di kamar Sukma terdapat sebuah cermin besar dengan bingkai kayu gelap berhias ukiran wajah wanita. Nadya sempat ingin memindahkannya, tapi Sukma menolak — katanya cerminnya “cantik” dan “punya teman di dalamnya.” Arga hanya tertawa, menganggap itu hal biasa untuk anak kecil. Namun malam pertama, Nadya mendengar suara anak kecil menyanyi dari kamar Sukma padahal putrinya sedang tidur.
Hari-hari berikutnya, Sukma sering menatap cermin itu lama sekali. Kadang ia bicara pelan, seperti berbicara pada seseorang. Nadya mulai resah. Ia juga beberapa kali melihat pantulan bayangan wanita berambut panjang di belakang Sukma, padahal di ruangan itu tidak ada siapa-siapa. Ketika diceritakan pada Arga, ia tidak percaya dan menyalahkan Nadya karena terlalu capek.
Suatu pagi, Nadya mendapati gambar di buku Sukma berubah. Gambar keluarga mereka yang semula bertiga, kini bertambah satu sosok wanita bergaun putih berdiri di samping Sukma. Wajahnya tidak digambar, hanya hitam. Saat Nadya menanyakan, Sukma menjawab polos, “Itu Ibu Sulastri, temanku.” Nama itu membuat Nadya merinding karena ia pernah mendengar dari tetangga bahwa rumah mereka dulu milik seorang dukun bernama Sulastri yang bunuh diri setelah anaknya tewas terbakar.
Ketegangan meningkat ketika Arga mulai mengalami gangguan juga. Ia sering terbangun di malam hari dengan bekas luka gores di tangan dan dada, seperti dicakar. Pernah suatu malam, ia mendengar langkah kaki kecil menuju kamarnya, tapi saat ia buka pintu, hanya terlihat Sukma berdiri di ujung lorong dengan mata kosong dan suara lirih berkata, “Ibu mau Sukma pulang.”
Nadya mencari tahu lebih dalam. Ia menemui Mbah Karti, warga tertua di kampung itu, yang akhirnya menceritakan kisah sebenarnya. Dulu, Sulastri dikenal sebagai dukun yang bisa memanggil arwah. Setelah anaknya meninggal karena kebakaran, ia mencoba memanggilnya melalui cermin pemanggil roh — benda yang kini ada di kamar Sukma. Namun upacaranya gagal dan malah menjerat jiwanya sendiri ke dalam cermin. Sejak itu, siapa pun yang tinggal di rumah itu selalu diganggu. Beberapa bahkan kehilangan anak kecil tanpa jejak.
Malam berikutnya, Nadya mencoba menyingkirkan cermin itu diam-diam. Begitu ia menyentuhnya, permukaan kaca beriak seperti air, lalu bayangan Sulastri muncul, menangis sambil memanggil, “Anakku, jangan biarkan mereka memisahkan kita!” Nadya terlempar ke belakang dan pingsan. Ketika sadar, cermin itu sudah kembali ke tempat semula — dan Sukma duduk di depan cermin dengan mata memerah. Ia berkata dengan suara berat, “Kenapa Ibu jahat sama dia?” Nadya menjerit ketakutan.
Arga yang akhirnya melihat kejadian sendiri mulai percaya. Ia memanggil ustaz setempat untuk membantu. Saat proses ruqyah dilakukan, rumah itu berguncang, lampu berkedip-kedip, dan Sukma berteriak keras. Dari dalam cermin muncul asap hitam, lalu wujud Sulastri tampak jelas — separuh wajah gosong, separuh lagi cantik. Ustaz membaca ayat-ayat suci tapi kaca pecah berkeping-keping, membentuk tulisan: “Anakku belum pulang.”
Ustaz menjelaskan bahwa arwah Sulastri mengira Sukma adalah reinkarnasi anaknya dan mencoba menarik jiwanya ke dalam cermin agar mereka “bersatu.” Satu-satunya cara menghentikan ikatan itu adalah menghancurkan cermin di tempat Sulastri mati — sebuah pondok terbakar di tengah hutan. Malam itu juga, mereka membawa cermin yang sudah retak ke sana.
Perjalanan ke hutan penuh kejadian aneh. Jalan terasa berulang, suara tangisan anak kecil terdengar di kejauhan, dan Sukma beberapa kali hampir kerasukan. Saat mereka tiba di pondok terbengkalai itu, Nadya menyiram bensin ke cermin dan membakarnya. Api menyala besar, tapi tiba-tiba Sukma tersadar dan menjerit, memohon agar api dimatikan. Dari api muncul wujud Sulastri membawa seorang anak kecil berwajah mirip Sukma. Sulastri menangis, “Aku hanya ingin anakku kembali. Dunia kalian sudah mencurinya dariku.”
Arga maju mencoba menahan cermin agar tetap terbakar, tapi bayangan Sulastri menariknya masuk. Nadya berteriak dan menarik tangan Arga hingga keduanya jatuh. Sukma pingsan, sementara Sulastri menatap mereka dengan tatapan penuh amarah dan kesedihan. Akhirnya Nadya membaca doa keras-keras sambil memeluk Sukma, dan cermin meledak menjadi abu. Api padam seketika, meninggalkan hutan dalam keheningan total.
Beberapa hari kemudian, keluarga itu pindah ke kota lain. Arga masih terluka tapi selamat. Mereka berusaha memulai hidup baru. Sukma tampak sudah normal, ceria kembali. Namun setiap malam, Nadya merasa rumah baru mereka terlalu tenang. Suatu pagi ia mendapati Sukma duduk di kamar sambil menggambar — kali ini gambar seorang perempuan tersenyum di depan rumah baru mereka. Saat ditanya siapa itu, Sukma hanya menjawab, “Ibu Sulastri sudah janji nggak ninggalin aku lagi.”
Nadya menatap gambar itu dengan wajah pucat. Saat ia menoleh ke meja, ia melihat Sukma sedang memegang potongan kecil kaca cermin yang dibungkus kain putih. Nadya merebutnya, tapi permukaan kaca memantulkan bayangan Sulastri sedang tersenyum lembut, dan terdengar bisikan pelan, “Anakku sudah pulang.”
Film berakhir dengan adegan malam hari. Kamera menyorot kamar Sukma yang kosong, lalu perlahan mendekat ke potongan kaca di atas meja. Di dalam pantulannya tampak Sukma tidur, tapi di pantulan itu terlihat ada sosok wanita bergaun putih duduk di sisi ranjang sambil menepuk kepala anak itu dengan lembut. Layar kemudian gelap, diiringi suara anak kecil menyanyi lagu yang sama seperti di awal film.





