Film Gempatoto Perempuan Pembawa Sial mengisahkan mitos Jawa kuno tentang Bahu Laweyan, sosok perempuan yang diyakini membawa kesialan dan kematian kepada siapa pun yang menjadi pasangan hidupnya. Kisah ini dikemas dalam balutan horor mistis yang penuh dengan nuansa tradisi, kepercayaan, dan tragedi cinta.
Cerita bermula dengan memperlihatkan suasana sebuah desa di Jawa yang masih kental dengan adat istiadat. Masyarakatnya percaya akan banyak hal mistis, salah satunya tentang legenda perempuan terkutuk yang disebut Bahu Laweyan. Dari generasi ke generasi, orang tua selalu menakut-nakuti anak mereka dengan kisah ini: perempuan yang dikutuk karena dosa leluhurnya, dan siapa pun yang menikahinya akan berakhir dengan maut. Sebagian orang menganggapnya hanya mitos, tetapi banyak kejadian aneh di desa itu yang selalu dikaitkan dengan sosok tersebut.
Tokoh utama pria bernama Arga, seorang pemuda berpendidikan yang baru kembali ke desa setelah lama merantau di kota. Arga skeptis terhadap hal-hal mistis. Ia menganggap semua itu hanya cerita turun-temurun untuk menakut-nakuti masyarakat agar patuh pada aturan. Namun, pandangannya mulai goyah ketika ia bertemu dengan seorang perempuan cantik bernama Sekar. Sekar dikenal pendiam, jarang bergaul, dan sering dipandang dengan curiga oleh warga desa. Banyak orang percaya bahwa Sekar adalah keturunan Bahu Laweyan, sehingga siapa pun yang dekat dengannya akan ditimpa kesialan.
Meskipun mendapat peringatan dari keluarganya dan tetua desa, Arga tetap mendekati Sekar. Ia merasa Sekar hanyalah korban gosip kejam masyarakat. Dari percakapan demi percakapan, Arga tahu bahwa Sekar adalah sosok yang lembut dan penuh luka. Ia ditinggalkan oleh banyak orang karena dianggap sebagai pembawa malapetaka. Sekar sendiri sebenarnya tidak ingin menyakiti siapa pun, tapi memang kejadian-kejadian buruk sering mengikuti orang-orang yang dekat dengannya.
Hubungan Arga dan Sekar berkembang menjadi cinta. Mereka saling menguatkan, meski tekanan dari masyarakat semakin kuat. Tak lama setelah itu, berbagai peristiwa aneh mulai terjadi. Teman Arga yang sering menemaninya bertemu Sekar mengalami kecelakaan misterius. Seorang tetangga yang pernah mengejek Sekar tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal tanpa sebab jelas. Semakin lama, kejadian itu makin sering terjadi, dan orang-orang di desa yakin penyebabnya adalah karena Arga terlalu dekat dengan “perempuan pembawa sial”.
Arga tetap bersikeras membela Sekar. Ia mulai menyelidiki asal-usul kutukan Bahu Laweyan. Dari catatan lama yang ditemukan di rumah kakeknya, Arga mengetahui kisah masa lalu: ratusan tahun lalu, ada seorang perempuan bernama Laweyan yang difitnah berselingkuh dengan bangsawan. Ia dihukum kejam, dikutuk melalui ritual hitam, dan sebelum meninggal ia bersumpah bahwa darah keturunannya akan selalu membawa celaka bagi pasangan mereka. Sejak saat itu, garis keturunannya dipercaya selalu membawa kesialan. Sekar adalah salah satu dari keturunan itu.
Kebenaran ini mengguncang Arga. Namun, rasa cintanya pada Sekar membuatnya semakin ingin melawan kutukan itu. Ia mencari cara untuk memutus rantai kutukan. Seorang dukun tua di desa memberinya peringatan keras: “Kutukan Bahu Laweyan tak bisa dipatahkan tanpa pengorbanan besar. Hanya nyawa cinta sejati yang bisa mengakhirinya.” Arga menolak percaya, ia yakin ada jalan lain.
Konflik semakin memanas ketika keluarga Arga menentang keras hubungannya dengan Sekar. Mereka takut kehilangan anak satu-satunya karena kutukan. Di sisi lain, Sekar mulai merasa bersalah. Ia menyadari bahwa keberadaannya memang membawa bencana. Malam demi malam ia dihantui mimpi buruk, melihat bayangan perempuan berpakaian putih dengan mata penuh dendam, yang diyakini sebagai roh Bahu Laweyan.
Puncak cerita terjadi ketika Arga dan Sekar memutuskan menikah diam-diam. Pada malam pernikahan mereka, desa dilanda kekacauan. Angin kencang, listrik padam, dan suara tangisan gaib terdengar dari segala penjuru. Satu per satu tamu undangan jatuh pingsan, bahkan ada yang meninggal mendadak. Sekar kerasukan arwah Bahu Laweyan. Tubuhnya menggeliat, matanya berubah putih, dan suara asing keluar dari mulutnya: “Tidak ada cinta yang boleh bertahan. Semua akan binasa karena darahku.”
Arga berusaha memeluk Sekar sambil membaca doa-doa yang diajarkan oleh dukun tua. Dalam kondisi kerasukan, Sekar menusukkan pisau ke tubuh Arga. Namun sebelum Arga jatuh, ia justru merangkul Sekar erat-erat dan berbisik, “Kalau hidupku harus berakhir, biarlah bersamamu.” Tindakan itu membuat arwah Bahu Laweyan menjerit dan tubuh Sekar terhempas ke tanah. Arga terkapar bersimbah darah.
Adegan klimaks menunjukkan bahwa pengorbanan Arga memang menghentikan kutukan. Sekar tersadar, menangis histeris sambil memeluk jasad Arga. Kutukan yang menghantui keluarganya berakhir, tetapi dengan harga yang mahal: kehilangan orang yang paling dicintainya. Desa pun kembali tenang, namun masyarakat akhirnya sadar bahwa mereka selama ini telah menghakimi Sekar tanpa benar-benar tahu kebenarannya.
Film ditutup dengan adegan Sekar berdiri di makam Arga, dengan wajah sendu namun tenang. Ia kini bebas dari kutukan, tapi hidupnya harus ia jalani seorang diri. Kamera menyorot jauh ke pepohonan, memperlihatkan bayangan samar perempuan berjubah putih—pertanda bahwa meskipun kutukan sudah berakhir, arwah Bahu Laweyan mungkin masih ada, mengintai dari kejauhan.





