Home / Uncategorized / sosok ketiga lintrik(2025)

sosok ketiga lintrik(2025)

Di sebuah desa kecil bernama Lembah Panjang, terdapat seorang gadis bernama Lintrik. Ia dikenal pendiam, rajin, dan selalu menunduk bila berjalan melewati orang lain. Wajahnya pucat, seolah tidak pernah tidur nyenyak. Ia tinggal bersama neneknya, Mak Uwa, di rumah kayu tua di pinggir sawah yang jarang dilewati orang. Sejak kecil, Lintrik sudah menjadi bahan bisik-bisik warga. Ada yang bilang dia aneh, ada yang bilang dia membawa sial. Tapi tidak ada yang berani bicara langsung kepadanya.

Kehidupan Lintrik mulai berubah sejak kematian kedua orang tuanya dalam kecelakaan aneh di sungai desa. Orang-orang yang menemukan jasad mereka mengatakan tubuh sang ibu penuh luka cakaran seperti habis diserang binatang. Tapi yang membuat semua orang heran, di sekitar lokasi tidak ditemukan jejak apa pun. Sejak itu, Mak Uwa membawa Lintrik pulang ke rumahnya dan melarang gadis itu keluar selepas magrib.

Setiap malam, dari jendela rumahnya, Lintrik sering mendengar suara langkah kaki gempatoto di sekitar pekarangan. Kadang terdengar suara perempuan memanggil namanya dengan nada lembut tapi seram, “Lintriiikk… Lintriiikk… sini, Nak.” Awalnya ia mengira itu halusinasi. Tapi suatu malam, saat ia menutup tirai, ia melihat bayangan seorang perempuan berambut panjang berdiri di tepi sawah, menatap ke arahnya. Bayangan itu tidak bergerak, namun ketika Lintrik menutup mata sejenak dan membuka kembali, sosok itu sudah menghilang.

Pagi harinya, Mak Uwa terlihat murung. Ia menatap cucunya dan berkata lirih, “Kalau kau lihat sesuatu, jangan hiraukan. Jangan pernah menatap matanya.” Lintrik tidak berani bertanya lebih jauh. Namun sejak hari itu, setiap malam terasa semakin mencekam. Kadang pintu rumah berguncang, kadang suara tawa perempuan terdengar dari dapur. Lintrik mulai merasa tidak sendirian di rumah itu.

Sementara itu, di desa mulai muncul kabar aneh. Beberapa orang mengaku melihat dua Lintrik berjalan di jalan setapak menuju sawah pada waktu bersamaan. Seorang anak kecil bahkan bersumpah melihat “Lintrik yang satu tersenyum, tapi matanya hitam legam seperti arang.” Warga mulai takut. Mereka menduga roh jahat yang dulu menyebabkan kematian orang tua Lintrik kini menempel padanya.

Suatu malam, saat hujan deras mengguyur desa, Mak Uwa jatuh sakit. Tubuhnya panas dan terus mengigau, menyebut nama seseorang yang tak pernah Lintrik dengar: “Nisriya…”. Dalam igauan itu, Mak Uwa menangis dan berkata, “Aku tak bisa menahannya lagi… dia sudah kembali.” Lintrik mencoba merawat neneknya, tapi hawa rumah terasa semakin dingin dan berat. Lampu minyak berkedip-kedip, lalu padam. Saat itulah Lintrik melihat bayangan perempuan di cermin kamar — wajahnya mirip dirinya sendiri, tapi senyumnya lebar dan matanya gelap seperti sumur.

Bayangan itu berbicara, “Aku bukan siapa-siapa… aku cuma bagian darimu yang kau sembunyikan.” Lintrik berteriak, namun suara itu meniru teriakannya, lalu tertawa. Cermin bergetar, retak, dan pecah menjadi serpihan. Dari pantulan pecahan kaca, Lintrik melihat tiga sosok dirinya — satu menangis, satu tersenyum, dan satu lagi menatap kosong. Malam itu, Mak Uwa meninggal dunia dalam tidurnya, meninggalkan Lintrik sendirian di rumah itu.

Setelah kematian neneknya, Lintrik menjadi semakin tertutup. Ia jarang keluar siang hari, dan kalaupun keluar, ia selalu mengenakan tudung kepala hitam. Warga desa mulai menjauh darinya, terutama setelah beberapa kejadian aneh terjadi — ternak hilang, suara perempuan menangis di sumur, dan anak kecil yang tiba-tiba sakit setelah melihat bayangan Lintrik di ladang. Beberapa orang tua desa memutuskan memanggil dukun tua bernama Pak Nanggor, yang terkenal mampu melihat makhluk gaib.

Saat malam Jumat tiba, Pak Nanggor bersama tiga orang warga datang ke rumah Lintrik. Begitu mereka masuk, hawa ruangan terasa berat dan berbau melati busuk. Lintrik duduk di pojok, menunduk. Dukun itu menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Kau bukan sendiri di tubuh ini.” Tiba-tiba Lintrik tertawa kecil, tapi suaranya berubah — berat, dalam, dan menggema. “Kau datang terlambat, Pak Nanggor. Lintrik sudah tidak di sini…”

Seketika lampu padam, dan semua orang mendengar suara langkah kaki di sekeliling mereka — langkah tiga orang, tapi hanya satu tubuh yang berdiri. Dukun itu membaca doa keras-keras, namun satu per satu warga jatuh pingsan. Saat lampu kembali menyala, Lintrik sudah lenyap. Di lantai hanya tersisa tiga bayangan di dinding — semua menyerupai Lintrik, tapi masing-masing menatap ke arah yang berbeda.

Keesokan paginya, rumah itu kosong. Tak ada Lintrik, tak ada jasad, hanya suara langkah lembut yang terdengar dari sawah setiap malam. Sejak itu, warga menamai rumah itu “Rumah Tiga Bayangan.” Mereka percaya, Lintrik tidak benar-benar pergi. Salah satu sosoknya masih berkeliaran di dunia manusia, satu terjebak di dunia cermin, dan satu lagi menjaga roh neneknya di antara kabut sawah.

Orang-orang yang lewat malam hari sering melihat sosok perempuan berambut panjang duduk di pematang, menatap bulan, dengan wajah yang samar-samar mirip Lintrik. Kadang ia menangis, kadang tersenyum, dan kadang tiba-tiba menghilang begitu saja. Sampai sekarang, tidak ada yang tahu sosok mana yang asli — Lintrik yang lembut, Lintrik yang gelap, atau Lintrik yang hanya bayangan dari keduanya. Namun satu hal pasti: ketika hujan turun dan petir menyambar di langit, dari kejauhan terdengar suara lirih perempuan berbisik,
“Aku… Lintrik yang ketiga…”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *