Film Getih Ireng menceritakan kisah pasangan muda bernama Rina dan Pram gempatoto, yang baru saja memulai kehidupan baru mereka setelah pindah ke sebuah rumah di daerah pegunungan Wonosobo, Jawa Tengah. Rina, yang diperankan oleh Titi Kamal, adalah seorang istri lembut dan penuh kasih, sementara Pram, diperankan oleh Darius Sinathrya, adalah suami yang rasional dan modern. Mereka datang dengan harapan besar untuk membangun masa depan yang bahagia dan menantikan kehadiran anak pertama mereka.
Awalnya, kehidupan mereka berjalan damai. Lingkungan baru terasa tenang, udara sejuk, dan warga sekitar menyambut dengan ramah. Untuk merayakan rumah baru mereka, Rina dan Pram mengadakan syukuran kecil yang dihadiri keluarga dan tetangga. Namun, di malam acara itu, Rina melihat sesuatu yang aneh: seorang kakek tua berdiri diam di sudut ruangan, menatapnya tanpa ekspresi. Saat Rina menoleh kembali, sosok itu sudah menghilang. Sejak malam itu, tidur Rina tidak pernah tenang.
Mimpi buruk mulai datang silih berganti. Dalam tidurnya, ia sering melihat kakek yang sama, membawa segenggam tanah hitam dan melemparkannya ke arah perutnya sambil tertawa kecil. Rina mulai merasa tidak nyaman di rumah baru itu. Ia sering mendengar langkah kaki di lorong, mencium bau anyir darah, dan mendapati bunga-bunga layu berserakan di halaman setiap pagi.
Ketika akhirnya Rina dinyatakan hamil, kebahagiaan mereka meledak. Pram yang awalnya skeptis terhadap firasat aneh istrinya, mulai percaya bahwa mungkin semua itu hanya stres kehamilan. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Dalam usia kandungan yang masih muda, Rina mengalami keguguran mendadak tanpa sebab medis yang jelas. Sejak saat itu, keadaan berubah menjadi suram.
Rina menjadi murung dan merasa dihantui. Ia yakin ada kekuatan jahat yang mengincarnya. Pram mencoba menenangkannya, tapi di sisi lain ia mulai menemukan hal-hal aneh di rumah mereka. Suatu malam, saat membersihkan gudang, ia menemukan kendi tanah liat berisi darah mengental bercampur bangkai tikus. Di pojok rumah, ada bungkusan kain merah yang di dalamnya terdapat segumpal rambut dan potongan kuku. Hal-hal itu membuat Pram mulai goyah; ia tak bisa lagi menolak bahwa ada sesuatu yang tidak wajar terjadi.
Dalam keputusasaan, mereka memutuskan meminta bantuan seorang tetua desa bernama Pak Narto. Lelaki tua itu dikenal sebagai orang yang menguasai ilmu kebatinan dan sering membantu warga yang diganggu makhluk halus. Setelah melakukan ritual sederhana, Pak Narto berkata bahwa Rina sedang menjadi sasaran Santet Getih Ireng — ilmu hitam kuno yang menyerang garis darah dan keturunan. Korbannya biasanya wanita muda yang hamil, dan santet ini menyebabkan keguguran, penyakit aneh, bahkan kematian jika tidak dihentikan.
Menurut Pak Narto, Santet Getih Ireng bukan sembarang guna-guna, tapi kutukan yang diturunkan lintas generasi. Sumbernya bisa berasal dari dendam lama, warisan keluarga, atau kesalahan masa lalu yang belum ditebus. Kata “getih ireng” sendiri berarti “darah hitam”, simbol dari darah keturunan yang telah dicemari niat jahat.
Mendengar itu, Rina ketakutan. Ia mulai bertanya-tanya apakah keluarganya menyimpan rahasia lama yang berhubungan dengan kutukan itu. Pram pun mulai menyelidiki latar belakang keluarga istrinya. Dari hasil pencarian, ia menemukan bahwa kakek buyut Rina dulu pernah berselisih dengan seorang dukun sakti di desa tetangga karena berebut tanah. Dukun itu kemudian bersumpah bahwa keturunan Rina tidak akan pernah memiliki keturunan yang hidup.
Teror semakin nyata ketika Rina kembali hamil. Setiap malam, bayangan kakek misterius muncul di cermin dan menatap perutnya. Suara ketukan di jendela terdengar saat hujan turun. Tubuh Rina sering membiru seolah darahnya membeku. Pram mencoba segala cara — dari pengobatan medis hingga ritual adat — tapi kondisi istrinya terus memburuk.
Rina kemudian dirasuki oleh arwah yang mengaku sebagai pelaku Santet Getih Ireng. Arwah itu mengatakan bahwa dendamnya belum selesai karena dosa masa lalu keluarga Rina belum ditebus. Dalam keadaan kerasukan, Rina berkata dengan suara yang bukan miliknya, menuduh keluarganya sendiri telah mengorbankan seseorang di masa lampau. Adegan ini menjadi salah satu momen paling menegangkan dalam film, dengan suasana mencekam dan intens.
Pak Narto akhirnya memberi tahu satu-satunya cara menghentikan kutukan: mereka harus menemukan benda pemicu santet yang ditanam di sekitar rumah dan menghadapinya dengan pengorbanan darah — bukan dalam arti membunuh, tetapi menebus dosa melalui keberanian dan kejujuran. Rina dan Pram menggali halaman belakang rumah mereka pada malam purnama, dan menemukan peti kecil berisi tulang belulang bayi, dibungkus kain hitam dengan simbol kuno.
Saat peti itu dibuka, rumah bergetar, suara tangisan bayi terdengar di seluruh penjuru, dan sosok kakek misterius muncul untuk terakhir kalinya. Dalam adegan klimaks, Rina berhadapan langsung dengan sosok itu dalam dunia gaib — antara hidup dan mati — memohon agar kutukan itu berakhir. Dengan air mata dan tekad, Rina memohon ampun atas dosa leluhurnya dan bersumpah untuk mengakhiri dendam tersebut.
Akhir film menunjukkan bahwa setelah kejadian itu, suasana rumah menjadi tenang. Rina akhirnya melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Namun dalam adegan penutup, kamera memperlihatkan Pram yang sedang menimang anaknya, lalu sekilas muncul bayangan hitam di cermin di belakang mereka. Film berakhir dengan kesan ambigu — apakah kutukan benar-benar telah berakhir, atau hanya tertidur sementara.
Getih Ireng bukan hanya film horor tentang santet, tetapi juga kisah tentang trauma, keturunan, dan kepercayaan. Ia menyoroti bahwa ketakutan terbesar manusia bukan hanya pada makhluk halus, tetapi pada dosa masa lalu yang tak pernah diselesaikan. Film ini menggabungkan unsur mistik Jawa, drama psikologis, dan pesan moral tentang pentingnya menghadapi warisan kelam dengan keberanian, bukan ketakutan.





